Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PONOROGO
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2024/PN Png 1.suyitno
2.Sujadi
KEPALA KEJAKSAAN NEGERI PONOROGO Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 22 Feb. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penyitaan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2024/PN Png
Tanggal Surat Kamis, 22 Feb. 2024
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2024/PN Png
Pemohon
NoNama
1suyitno
2Sujadi
Termohon
NoNama
1KEPALA KEJAKSAAN NEGERI PONOROGO
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Bahwa ; proses penetapan Tersangka merupakan proses yang panjang dimulai dari proses penyelidikan hingga penyidikan yangmana prosedur tersebut diatur dengan ketat dalam peraturan perundang-undangan karena berkaitan erat dengan kelayakan dan ketentraman hak hidup yang nyaman pada seseorang dan berkenaan dengan hak asasi manusianya.

 

Bahwa ; dalam penjelasan KUHAP disebutkan bahwasannya KUHAP wajib didasarkan pada falsafah atau pandangan hidup bangsa dan dasar Negara, maka sudah seharusnyalah tercermin perlindungan terhadap dalam pasal atau ayat-ayat KUHAP.

 

Bahwa ; dari uraian diatas, maka pelanggaran terhadap ketentuan baik KUHAP maupun peraturan perundang-undangan hukum lain yang menyangkut prosedur penyelidikan, penyidikan, penetapan Tersangka dan upaya paksa lainnya seperti pennggeledahan dan penyitaan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.

 

Bahwa ; permohona praperadilan ini diajukan karena adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam rangka penetapan Tersangka terhadap PARA PEMOHON dan adanya penggeledahan serta penyitaan yang tidak sah dengan uraian sebagai berikut:

 

  1. Tidak dikirimkannya SPDP oleh TERMOHON kepada PARA PEMOHON yang merupakan kewajiban dalam pasal 109 ayat (1) KUHAP.
  2. Penetapan Tersangka yang tidak sah karena proses penyelidikan yang melampaui batas waktu.
  3. Penetapan Tersangka yang tidak sah karena melanggar prosedur batas waktu penetapan sebagaimana ditentukan oleh Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 tanggal 29 Oktober 2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.
  4. Pelanggaran terhadap batas waktu penyidikan.
  5. Penggeladahan dan Penyitaan alat bukti yang tidak sah karena melanggar KUHAP dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA- 039/A/J.A/10/210.

 

Bahwa ; secara rinci akan PARA PEMOHON uraikan sebagai berikut:

 

DASAR HUKUM DAN RUANG LINGKUP PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. Asas Habeas Corpus, yaitu memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum. Tegasnya, setiap pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah, sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan

 

ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;

 

  1. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu dan Bab XII Bagian Kesatu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), secara expressis verbis dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (terutama Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk in casu PEMOHON.

 

  1. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyelidik/penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;

 

  1. Bahwa ; dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 halaman 100 dijelaskan bahwasannya “pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum Dalam negara hukum, asas due process of law sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses peradilan pidana, khususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam mempertahankan haknya secara seimbang. Oleh karena itu, Negara terutama Pemerintah, berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945]. KUHAP sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah merumuskan sejumlah hak tersangka/terdakwa sebagai pelindung terhadap kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia;”

 

  1. Bahwa ; menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP dijelaskan “Tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP yaitu melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan Undang-Undang.”

 

  1. Bahwa ; pasca 4 putusan Mahkamah Konstitusi, maka ruang lingkup perkara praperadilan diperluas termasuk didalamnya adalah memasukkan penetapan Tersangka sebagai obyek praperadilan.

 

  1. Bahwa ; dari uraian diatas khususnya dalam Kutipan Pertimbangan Mahkamah Konstitusi diatas, maka penegakan asas due process of law sangat penting mengingat pelanggaran terhadap asas due process of law sama artinya dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, padahal hukum pidana formil diciptakan untuk menghindari pelanggaran terhadap hak- hak Tersangka.

 

  1. Bahwa ; dengan memperhatikan praktek peradilan melalui beberapa putusan pengadilan yang ada, pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam rangka proses penyidikan merupakan tindakan inprosedural, melanggar hak hukum Tersangka yang menyebabkan tidak sahnya penetapan Tersangka. Beberapa putusan yang dimaksud adalah:
    1. Putusan            Pengadilan            Negeri            Kendari            Nomor 09/Pid.Pra/2021/PN.Kdi tanggal 14 September 2021 yang mengabulkan Permohonan Praperadilan yang diajukan PEMOHON dan menetapkan Penetapan Tersangka terhadap PEMOHON adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan salah satu pertimbangan hukumnya adalah : “pemberitahuan SPDP kepada Penuntut Umum, terlapor dan Korban/Pelapor adalah wajib, sehingga dengan tidak diberitahukannya dan tidak diserahkannya SPDP kepada Penuntut Umum, terlapor dan Korban/Pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat Perintah penyidikan tersebut, maka menurut Pengadilan kalau hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidik Tindak Pidana pasal 14 (1) adalah Tindakan yang inprosedural atau tidak sesuai prosedur, Tindakan yang sewenang-wenang, tidak sah dan cacat secara yuridis.”

 

  1. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 34/Pid.Pra/2020/PN.Sby. tanggal 8 Desember 2020 yang mengabulkan Permohonan Praperadilan yang diajukan PEMOHON terhadap penetapan Tersangka atas diri PEMOHON dan menyatakan penetapak Tersangka atas diri PEMOHON adalah tidak sah dengan salah satu pertimbangan hukumnya adalah : “karena keterlambatan penyampaian SPDP, maka hak-hak Tersangka menjadi terabaikan karena Tersangka tidak bisa menyiapkan diri secara mental, hak untuk mengajukan keberatan sebelum ditetapkan sebagai tersangka menjadi tertutup, hak mendapatkan informosi secara fair berkurang, seolah- olah SPDP tidak punya pelawan, tidak sesuai dengan tujuan diadakannya lembaga penyampaian SPDP kepada terlapor sebelum ditetapkannya sebagai tersangka. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon yang statusnya sudah bukan sebagai terlapor melainkan sudah tersangka adalah termasuk kategori terlambat dan sebagai akibat hukumnya, penetapan tersanga pada diri Pemohon menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya.”

 

  1. Putusan Pengadilan Negeri Bangkinang Nomor 02/Pid.Pra/2019 tanggal 9 April 2019 yang amarnya berbunyi : “- Menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan PEMOHON ; - Menyatakan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan No.

 

SPDP/22/II/2019/Reskrim tanggal 12 Februari 2019 atas nama PEMOHON yang diterbitkan TERMOHON I adalah tidak sah, cacat hukum dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat” yang mana dalam salah satu pertimbangan hukumnya adalah “SPDP diterbitkan TERMOHON I melampaui batas waktu 7 (tujuh) hari maka sebagaimana Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 yang mengoreksi Pasal 109 ayat (1) KUHAP dan menegaskan bahwa paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Surat Perintah Penyidikan terbit Termohon I wajib menyampaikan SPDP kepada Pemohon, sehingga beralasan menurut hukum Surat No. SPDP /22/II/2019/Reskrim tanggal 12 Februari 2019 dinyatakan tidak sah dan cacat hukum”.

 

  1. Putusan Pengadilan Negeri Tuban dengan Nomor 1/Pid.Pra/2021/PN.Tbn. tanggal 11 Oktober 2021 yang amarnya berbunyi “1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya; 2. Menetapkan penetapan tersangka kepada pemohon sebagaimana sebagaimana tertuang dalam Surat Kepala Kepolisian Sektor Bancar Polres Tuban Nomor: B/04/IX/2021/Reskrim, tanggal 7 September 2021 tentang Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) tidak sah; dst…

 

  1. Bahwa ; dari uraian tersebut diatas, maka tindakan TERMOHON yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka proses penyidikan merupakan pelanggaan terhadap asas due process of law dan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap diri PARA PEMOHON serta merupakan pelanggaran Hak Hukum PARA PEMOHON dan merupakan tindakan inprosedural yang mengakibatkan penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON menjadi tidak sah.

 

ALASAN PRAPERADILAN TIDAK SAHNYA PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PARA PEMOHON KARENA PENYIDIK TIDAK MENGIRIMKAN SPDP KEPADA PARA PEMOHON

(Pelanggaran terhadap Hukum Acara Pidana Berdasarkan pasal 109 (1) KUHAP pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015)

  1. Bahwa ; PARA PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka sebagaimana Surat Penetapan Tersangka nomor KEP-I-02/M.5.26/Fd.2/11/2023 tanggal 30 November 2023.

 

  1. Bahwa ; dalam uraian dasar hukum surat Penetapan Tersangka diatas, TERMOHON sama sekali tidak menyebutkan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan hanya menyebutkan dua Surat Perintah Penyidikan yaitu :
  • Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Ponorogo nomor Print – 01 /M.5.26/Fd 1/01/2023 tanggal 22 Februari 2023. Dan;
  • Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Ponorogo nomor Print – 01 a/M.5.26/Fd 1/03/2023 tanggal 6 Maret 2023.

 

  1. Bahwa ; atas terbitnya dua Surat Perintah Penyidikan diatas, PARA PEMOHON sama sekali tidak pernah menerima SPDP yang secara limitative diatur bahwa maksimal 7 (tujuh) hari setelah terbitnya Surat Perintah Penyidikan maka SPDP harus dikirimkan kepada PARA PEMOHON

 

sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 109 (1) KUHAP pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.

 

  1. Bahwa ; penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON adalah tidak sah karena melanggar ketentuan pasal 109 (1) KUHAP pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yangmana TERMOHON wajib menyampaikan SPDP kepada PARA PEMOHON paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan.

 

  1. Bahwa ; pasal 109 (1) KUHAP pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015) dinyatakan bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor dan korban/ pelapor dalam waktu paling lambar 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.” Artinya dari ketentuan pasal tersebut ada kewajiban TERMOHON yang dibatasi oleh waktu untuk memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada PARA PEMOHON paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan.

 

  1. Bahwa ; sesuai ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP tersebut, maka TERMOHON wajib mengirimkan SPDP kepada PARA PEMOHON maksimal pada tanggal:

 

  • 1 Maret 2023 jika mengacu pada Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Ponorogo nomor Print – 01 /M.5.26/Fd 1/01/2023 tanggal 22 Februari 2023. Atau ;
  • Maksimal pada tanggal 13 Maret 2023 jika mengacu pada nomor Print – 01 a/M.5.26/Fd 1/03/2023 tanggal 6 Maret 2023.

 

  1. Bahwa ; kewajiban TERMOHON mengirimkan SPDP kepada PARA PEMOHON adalah karena posisi PARA PEMOHON adalah sebagai TERLAPOR dalam perkara pidana yang dilaporkan oleh PELAPOR, mengingat PELAPOR melaporkan adanya dugaan Pungli yang dilakukan oleh Perangkat Desa Sawoo, artinya PELAPOR melaporkan Perangkat Desa Sawoo sebagai TERLAPOR yangmana PARA PEMOHON adalah merupakan Perangkat Desa Sawoo.

 

  1. Bahwa ; dari uraian diatas, maka tidak ada alasan TERMOHON tidak mengirimkan SPDP kepada PARA PEMOHON dengan alasan “tidak diketahui siapa TERLAPOR-nya” karena jelas TERLAPOR dalam perkara aquo adalah PARA PEMOHON sebagai Perangkat Desa Sawoo.

 

  1. Bahwa ; faktanya, PARA PEMOHON tidak pernah menerima SPDP sebagaimana telah diuraikan diatas, sehingga tindakan TERMOHON yang tidak mengirimkan SPDP kepada PARA PEMOHON merupakan pelanggaran asas due process of law dan secara nyata melanggar Hukum Acara Pidana yang menyebabkan penetapan Tersangka menjadi tidak sah.

 

  1. Bahwa ; TERMOHON dalam perkara aquo adalah sebagai Penyidik Kejaksaan yang harus tunduk pada KUHAP, peraturan Jaksa Agung serta

 

seluruh peraturan pidana formil lainnya dalam proses penyidikan sebagaimana termuat dalam pasal 1 angka 9 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 yang kutipannya berbunyi :

“tindakan penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, penuntutan, upaya hukum dan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) adalah tindakan tim penyelidik, tim penyidik, tim pra penuntutan, tim penuntutan dan tim pelaksana putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”

 

  1. Sehingga, dari seluruh uraian diatas, maka tindakan TERMOHON dengan tidak mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada PARA PEMOHON (incasu sebagai TERLAPOR), dalam jangka waktu yang ditentukan oleh KUHAP, hal tersebut merupakan tindakan inprosedural yang dilakukan oleh TERMOHON dan melanggar ketentuan pasal 109 (1) KUHAP pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak hukum terhadap diri PARA PEMOHON dan menyebabkan penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON menjadi tidak sah.

 

  1. Sehingga, PARA PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo cq Hakim Pemeriksa Perkara Aquo dapat mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh PARA PEMOHON dan menyatakan penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON berdasarkan Surat Penetapan Tersangka nomor KEP-I- 02/M.5.26/Fd.2/11/2023 tanggal 30 November 2023 adalah tidak sah dan mengembalikan harkat martabat PARA PEMOHON sebagaiamana semula sebelum terbitnya surat penetapan Tersangka aquo.

 

ALASAN PRAPERADILAN TERKAIT TIDAK SAHNYA PENETAPAN TERSANGKA KARENA PENYIDIKAN PERKARA AQUO BERASAL DARI PROSES PENYELIDIKAN YANG TIDAK SAH KARENA MELAMPAUI BATAS WAKTU PENYELIDIKAN

(Pelanggaran terhadap Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210)

  1. Bahwa ; penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON adalah tidak sah karena proses penyelidikan yang menjadi dasar penyidikan perkara aquo melanggar pasal 5 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 tentang Jangka Waktu Penyidikan.

 

  1. Bahwa ; dalam pasal 5 ayat 1 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 disebutkan “jangka waktu penyelidikan tindak pidana korupsi adalah paling lama 14 (empat belas) hari kerja dan dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari kerja.

 

  1. Bahwa ; mengacu pada pasal 415 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210, maka setelah batas waktu dalam pasal 5 ayat 1 diatas terpenuhi, Kepala Kejaksaan Negeri memutuskan dengan tindakan berupa :
    1. Melanjutkan penyelidikan ke tahap penyidikan;
    2. Tidak melanjutkan penyelidikan; atau;

 

  1. Tindakan lain karena alasan tertentu berdasarkan hukum   yang bertanggung jawab.

 

  1. Bahwa ; masyarakat Desa Sawoo melaporkan dugaan Kasus Pidana yang diduga dilakukan oleh PARA PEMOHON pada tanggal 12 Januari 2023, sehingga mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Jaksa Agung aquo, maka batas akhir keputusan apakah penyelidikan ini dilanjutkan dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan atau harus dihentikan penyelidikannya adalah pada tanggal 17 Februari 2023, namun faktanya, Surat Perintah Penyidikan pertama dalam perkara yang disangkakan terhadap PARA PEMOHON terbit pada tanggal 22 Februari 2023 atau melampaui batas waktu yang telah diatur oleh Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210. Sehingga terjadi kelebihan kurang lebih 5 hari.

 

  1. Bahwa ; sebagaimana ketentuan dalam pasal 8 ayat (1) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 disebutkan bahwasannya “sumber penyidikan terdiri dari:
    1. Sumber   penyelidikan   perkara    tindak    pidana   korupsi    yang    oleh pimpinan diputuskan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan;
    2. laporan hasil penyelidikan perkara tindak pidana korupsi yang oleh pimpinan diputuskan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.”

 

  1. Bahwa ; dari ketentuan diatas, maka proses penyelidikan merupakan pondasi penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON, sehingga pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelidikan merupakan pelanggaran terhadap prinsip due process of law yang merupakan adanya tindakan TERMOHON yang inprosedural yang mengakibatkan penetapan Tersangka menjadi tidak sah.

 

  1. Bahwa ; dalam pasal 419 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 disebutkan “Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus paling lama 1 (satu) hari sejak serah terima berkas hasil penyelidikan, membuat laporan terjadinya tindak pidana (P-7) dan mengusulkan nama- nama tim penyidikan… dst”

 

  1. Bahwa ; dari ketentuan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 diatas membuktikan vitalnya proses penyelidikan sebagai dasar penyidikan.

 

  1. Bahwa ; dari uraian diatas, maka tindakan TERMOHON yang melampaui batas waktu proses penyelidikan merupakan tindakan inprosedural yang melanggar asas due process of law yang merupakan pelanggaran terhadap hak-hak PARA PEMOHON yangmana hak-hak tersebut sangat dilindungi dalam hukum pidana formil.

 

  1. Sehingga ; dari uraian diatas, maka permohonan Praperadilan yang diajukan oleh PARA PEMOHON patut untuk dikabulkan karena adanya pelanggaran asas due process of law dan tindakan inprosedural yang dilakukan oleh TERMOHON yang menyebabkan penetapan Tersangka terhadap PARA PEMOHON menjadi tidak sah.

 

ALASAN PRAPERADILAN TERKAIT TIDAK SAHNYA PENETAPAN TERSANGKA KARENA MELANGGAR PROSEDUR BATAS WAKTU PENETAPAN TERSANGKA

(Pelanggaran terhadap Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210)

  1. Bahwa ; penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON adalah tidak sah karena melanggar batas waktu penetapan Tersangka sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA- 039/A/J.A/10/210.

 

  1. Bahwa ; pada pasal 422 angka 1 dan 2 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 disebutkan:
  1. Dalam Surat Perintah Penyidikan yang tidak menyebut identitas tersangka, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, Kepala Kejaksaan Negeri atas usul Tim Penyidikan dan saran/ pendapat Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus harus menemukan dan menetapkan Tersangka.
  2. Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, maka dalam waktu paling lama 50 (lima puluh) hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan, Kepala Kejaksaan Negeri atas usul Tim Penyidikan dan saran/ pendapat Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus harus sudah menemukan dan menetapkan Tersangka.

 

  1. Bahwa ; mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210, jika tim penyidik belum juga mampu menemukan dan menetapkan Tersangka, maka Pimpinan dapat mempertimbangkan untuk mengganti/ menambah Penyidik dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan.

 

  1. Bahwa ; dalam perkara aquo, Surat Perintah Penyidikan yang terdapat pada Surat Penetapan Tersangka atas nama PARA PEMOHON adalah Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Ponorogo nomor Print – 01 a/M.5.26/Fd 1/03/2023 tanggal 6 Maret 2023, dan tidak ada Surat Perintah Penyidikan baru setelah Surat Perintah Penyidikan ini, sehingga batas waktu penentuan untuk menetapkan Tersangka diambil dari tanggal terbitnya Surat Perintah Penyidikan aquo.

 

  1. Bahwa ; mengacu pada pasal 422 ayat 1 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210, maka terdapat dua batas waktu maksimal, yaitu:
    1. Maksimal pada tanggal 5 April 2023 (incasu 30 hari setelah terbitnya Surat Perintah Penyidikan) TERMOHON sudah harus dapat menemukan dan menetapkan Tersangka;
    2. Atau Maksimal tanggal 25 April 2023 jika mengacu pada pasal 422 ayat 2 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA- 039/A/J.A/10/210, jika dilakukan perpanjangan selama 50 hari setelah terbitnya Surat Perintah Penyidikan.

Sehingga, dalam batas wakti tersebut diatas, TERMOHON sudah harus dapat menemukan dan menetapkan Tersangka, namun faktanya tidak demikian.

 

  1. Bahwa ; faktanya, TERMOHON baru menetapkan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON pada tanggal 30 November 2023 atau kurang lebih 269 hari setelah keluarnya Surat Perintah Penyidikan, artinya terjadi pelanggaran ketentuan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 yang dilakukan oleh TERMOHON.

 

  1. Bahwa ; sebagaimana asas Habeas Corpus, maka setiap pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut harus benar-benar sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia. Faktanya, TERMOHON telah melanggar ketentuan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 sehingga tindakan TERMOHON dalam melaksanakan hukum pidana formil menjadi tidak sah karena terjadi pelanggaran peraturan.

 

  1. Bahwa ; sebagaimana asas due process of law, jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam rangka penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum, maka hal tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan merupakan tindakan inprosedural yang mengakibatkan penetapan Tersangka menjadi tidak sah.

 

  1. Sehingga, penetapan Tersangka terhadap PARA PEMOHON adalah tidak sah karena telah terjadi pelanggaran pasal 422 ayat 1 dan 2 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 yang dilakukan oleh TERMOHON.

 

  1. Sehingga, PARA PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo cq Hakim Pemeriksa Perkara Aquo dapat mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh PARA PEMOHON dan menyatakan penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON berdasarkan Surat Penetapan Tersangka nomor KEP-I- 02/M.5.26/Fd.2/11/2023 tanggal 30 November 2023 adalah tidak sah dan mengembalikan harkat martabat PARA PEMOHON sebagaiamana semula sebelum terbitnya surat penetapan Tersangka aquo.

 

ALASAN PRAPERADILAN TERKAIT PELANGGARAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN OLEH TERMOHON

(Pelanggaran terhadap Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210)

  1. Bahwa ; penyidikan dan penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON tidak sah karena terjadi pelanggaran batas waktu penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 497 dan pasal 498 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210.

 

  1. Bahwa ; dalam pasal 497 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 disebutkan “tim penyidikan melaporkan hasil penyidikan dalam waktu untuk paling lama 100 (seratus) hari sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus.”

 

  1. Bahwa ; dalam pasal 498 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 disebutkan “Kepala Kejaksaan Negeri dalam mekanisme pengambilan keputusan atas laporan hasil penyidikan sebagaimana diatur pasal 497 hanya dapat memutuskan :
    1. Meningkatkan penyidikan ketahap penuntutan; atau;
    2. Menghentikan penyidikan atau melaksanakan tindakan lain; memutuskan untuk meminta petunjuk atau persetujuan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atas tindak lanjut laporan hasil penyidikan.”

 

  1. Bahwa ; dari uraian diatas terdapat batasan yang cukup tegas dalam jangka waktu penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON yaitu maksimal 100 (seratus) hari sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan maka status PARA PEMOHON harus sudah jelas, apakah akan dilakukan penuntutan atau dihentikan penyidikannya.

 

  1. Bahwa ; jika mengacu pada Surat Perintah Penyidikan nomor Print – 01 a/M.5.26/Fd 1/03/2023 tanggal 6 Maret 2023 maka batas waktu maksimal 100 (seratus) hari untuk TERMOHON memutuskan apakah akan meningkatkan ketahap penuntutan atau menghentikan penyidikan adalah pada tanggal 14 Juni 2023.

 

  1. Bahwa ; pada tanggal tersebut, jangankan untuk ditingkatkan ketahap penuntutan, faktanya pada tanggal tersebut PARA PEMOHON belum ditetapkan sebagai Tersangka, sehingga tindakan TERMOHON telah melanggar 2 batas waktu yang ditentukan oleh Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210, yaitu:
    1. Maksimal 50 hari setelah Surat Perintah Penyidikan keluar maka sudah harus ada penetapan Tersangka; dan
    2. Maksimal 100 hari setelah Surat Perintah Penyidikan keluar maka sudah harus jelas apakah akan ditingkatkan ketahap penuntutan ataukah dihentikan penyidikannya.

 

  1. Sehingga, dari uraian diatas, maka jelas TERMOHON telah melanggar Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 yang artinya telah terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana formil yang artinya juga hal tersebut merupakan pelanggaran asas due process of law yang berarti juga terdapat tindakan inprosedural yang dilakukan oleh TERMOHON yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi atas diri PARA PEMOHON dan pelanggaran hak hukum PARA PEMOHON.

 

  1. Sehingga, PARA PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo cq Hakim Pemeriksa Perkara Aquo dapat mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh PARA PEMOHON dan menyatakan penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON berdasarkan Surat Penetapan Tersangka nomor KEP-I- 02/M.5.26/Fd.2/11/2023 tanggal 30 November 2023 adalah tidak sah dan mengembalikan harkat martabat PARA PEMOHON sebagaiamana semula sebelum terbitnya surat penetapan Tersangka aquo.

 

ALASAN PRAPERADILAN TERKAIT TIDAK SAHNYA PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN ALAT BUKTI

(Pelanggaran terhadap KUHAP dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210)

  1. Bahwa ; pada hari Kamis tanggal 7 September 2023, TERMOHON melakukan Penggeledahan dan Penyitaan alat bukti di Kantor Balai Desa Sawoo Kabupaten Ponorogo tempat PARA PEMOHON bekerja tanpa mengantongi izin dari Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo.

 

  1. Bahwa ; pada saat dilakukan penggeledahan dan penyitaan tersebut, PARA PEMOHON sempat menanyakan surat izin penggeledahan dan penyitaan kepada TIM yang bertugas, namun dijawab “suratnya menyusul”

 

  1. Bahwa ; setelah selesai melakukan penggeledahan, TERMOHON menyita beberapa alat bukti dari kantor tempat PARA PEMOHON bekerja.

 

  1. Bahwa ; hingga permohonan ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo, TERMOHON tidak pernah menunjukkan kepada PARA PEMOHON mengenai surat izin dimaksud baik izin penggeledahan maupun berita acara penyitaan.

 

  1. Bahwa ; tindakan TERMOHON yang tidak menunjukkan izin penggeledahan dan berita acara penyitaan tersebut setidaknya melanggar dua ketentuan, yaitu:
    1. Pasal 33 ayat 1 KUHAP. Dan;
    2. Pasal 439 ayat 1 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210.

 

  1. Bahwa ; dalam pasal 33 ayat 1 KUHAP disebutkan : “Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.”

 

  1. Bahwa ; dalam pasal 439 ayat 1 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PERJA-039/A/J.A/10/210 disebutkan : “kepala seksi tindak pidana khusus meneruskan usulan sebagaimana dimaksud pasal 438 ayat 1 kepada Kepala Kejaksaan Negeri, pada hari diterimanya usulan disertai konsep Surat Perintah Penggeledahan/ Penyitaan (B-4) dan konsep surat permohonan persetujuan/ ijin Ketua Pengadilan Negeri (B-1) serta konsep surat permohonan pengamanan tindakan penggeledahan/ Penyitaan (pidsus-20C).”

 

  1. Bahwa ; dari uraian diatas, maka sudah seharusnya TERMOHON telah mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam hal ini adalah Ketua Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Ponorogo sebelum melakukan penggeledahan dan penyitaan terkait perkara pidana aquo.

 

  1. Bahwa ; faktanya, pada saat penggeledahan, tim penyidik dari TERMOHON tidak menunjukkan surat-surat sebagaimana dimaksud.

 

  1. Bahwa ; tindakan TERMOHON yang melakukan penggeledahan tanpa menunjukkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo dan melakukan penyitaan tanpa kemudian membuat dan menunjukkan berita acara penyitaan kepada PARA PEMOHON merupakan pelanggaran asas due

 

process of law karena nyata-nyata melanggar hukum pidana formil  yang berlaku.

 

  1. Sehingga, PARA PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo cq Hakim Pemeriksa Perkara Aquo dapat mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh PARA PEMOHON dan menyatakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan berkaitan dengan proses penyidikan adalah tidak sah yang menyebabkan penetapan Tersangka terhadap diri PARA PEMOHON berdasarkan Surat Penetapan Tersangka nomor KEP-I-02/M.5.26/Fd.2/11/2023 tanggal 30 November 2023 adalah tidak sah serta mengembalikan harkat martabat PARA PEMOHON sebagaiamana semula sebelum terbitnya surat penetapan Tersangka aquo.

 

Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo cq Yang Mulia Hakim Pemeriksa Perkara Aquo untuk dapat mengabulkan Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh PEMOHON dan memberikan Putusan atau Penetapan yang amarnya berbunyi:

 

PRIMER

  1. Mengabulkan Permohonan Praperadilan PARA PEMOHON untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan Penetapan Tersangka kepada PARA PEMOHON sebagaimana tertuang dalam surat nomor KEP-1-02/M.5.26/Fd.2/11/2023 tanggal 30 November 2023 atas nama PARA PEMOHON yang tidak sah dan tidak berkekuatan hukum.
  3. Menyatakan memulihkan seluruh hak, harkat dan martabat PARA PEMOHON seperti sedia kala atau seperti semula sebelum terbitnya surat-surat dari Penyidik Kejaksaan aquo.
  4. Menyatakan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah.
  5. Membebankan biaya perkara sebagaimana peraturan perundang-undangan.

 

SUBSIDER

Atau apabila Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo cq Yang Mulia Hakim Pemeriksa Perkara aquo berpendapat lain, demi peradilan yang baik mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono)

Pihak Dipublikasikan Ya