Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
2/Pid.Pra/2022/PN Png | FERDIANSYAH HIMAWAN, S.T. | KEPALA KEPOLISIAN RESORT PONOROGO cq KEPALA SATUAN RESERSE DAN KRIMINAL POLISI RESOR PONOROGO | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Jumat, 09 Sep. 2022 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 2/Pid.Pra/2022/PN Png | ||||
Tanggal Surat | Jumat, 09 Sep. 2022 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN 2. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu dan Bab XII Bagian Kesatu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), secara expressis verbis dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (terutama Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk in casu PEMOHON. 3. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyelidik/penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan; 4. Bahwa ; pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 diputuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf A KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Adapun salah satu pertimbangan hukumnya, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenangwenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. 5. Bahwa ; dengan memperhatikan praktek peradilan melalui beberapa putusan pengadilan yang ada, alasan praperadilan yang diajukan PEMOHON sangat patut untuk dikabulkan, karena pada dasarnya praperadilan dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti terdapat dalam perkara berikut: ALASAN PRAPERADILAN TIDAK SAHNYA PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PEMOHON KARENA BERDASARKAN DUA ALAT BUKTI YANG TIDAK DISERTAI DENGAN PEMERIKSAAN PEMOHON SEBAGAI CALON TERSANGKA 6. Bahwa ; permohonan praperadilan ini pada pokoknya diajukan dengan dasar tidak sahnya penetapan Tersangka oleh TERMOHON terhadap PEMOHON karena TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka tanpa disertai pemeriksaan sebagai saksi atau saksi untuk calon Tersangka sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. 7. Bahwa ; dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 pada halaman 98, kutipannya berbunyi “agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17 dan pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, dst” 8. Bahwa ; dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, terdapat pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyertakan pemeriksaan calon Tersangka di samping minimum dua alat bukti adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi manusia seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Artinya, PEMOHON sudah seharusnya diperiksa sebagai saksi atau saksi untuk calon Tersangka sebelum ditetapkan sebagai Tersangka supaya dapat dikonfrontir dengan alat bukti yang ditemukan oleh TERMOHON sebelum ditetapkan sebagai Tersangka supaya dapat memberikan keterangan yang seimbang. 9. Bahwa ; sebelum PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka, PEMOHON tidak pernah diperiksa sebagai saksi untuk calon Tersangka sebagaimana ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut, sehingga apa yang dilakukan oleh TERMOHON merupakan pelanggaran terhadap hukum dan pelanggaran terhadap hak-hak PEMOHON. 10. Bahwa ; sebelum ditetapkan sebagai Tersangka, PEMOHON telah dua kali mendapatkan panggilan sebagai saksi, yaitu: Namun, kedua panggilan tersebut diatas bukanlah merupakan panggilan pemeriksaan sebagai saksi untuk Calon Tersangka, melainkan sebagai saksi saja. 11. Bahwa ; PEMOHON menyatakan pemeriksaan PEMOHON sebagai saksi sebagaimana tersebut pada posita permohonan diatas bukan merupakan pemeriksaan saksi untuk calon tersangka bukanlah opini dari PEMOHON, melainkan ada dasar yuridis yang jelas, yaitu: Bahwa ; dari uraian diatas, jelas sekali pemeriksaan PEMOHON pada tanggal 28 Juni 2019 dan 19 Agustus 2019 adalah pemeriksaan PEMOHON sebagai saksi yang bukan merupakan pemeriksaan saksi untuk calon tersangka sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. 12. Bahwa ; PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Ketetapan Nomor : S.Tap/37/III/RES.3.5/2022/Satreskrim tertanggal 25 Maret 2022. 13. bahwa ; salah satu dasar penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON adalah Laporan Hasil Gelar Perkara tanggal 24 Maret 2022. (vide Surat Ketetapan Nomor : S.Tap/37/III/RES.3.5/2022/Satreskrim tertanggal 25 Maret 2022 pada bagian Dasar angka 14). 14. Bahwa ; dalam Laporan Hasil Pelaksanaan Gelar Perkara Penetapan Tersangka pada halaman 7 Huruf f angka 4, terdapat keterangan dari KOMPOL PONIKAH (Bidkum Polda Jatim) yang kutipannya berbunyi “agar mempedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 untuk dilakukan pemeriksaan sebagai saksi untuk calon Tersangka.” 15. Bahwa ; dari Laporan Hasil Pelaksanaan Gelar Perkara Penetapan Tersangka tanggal 24 Maret 2022 aquo, terbukti bahwasannya TERMOHON sadar betul akan adanya kewajiban untuk melaksanakan pemeriksaan PEMOHON sebagai saksi atau saksi untuk calon Tersangka sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 namun TERMOHON tidak melaksanakannya. 16. Bahwa ; perbuatan TERMOHON yang tidak melakukan pemeriksaan terhadap PEMOHON sebagai saksi sebagai calon Tersangka sebelum ditetapkan sebagai Tersangka jelas merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945, pelanggaran asas hukum Pidana, pelanggaran hukum Acara Pidana dan pelanggaran hak asasi PEMOHON karena dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 sangat jelas disebutkan bahwa : Sehingga, jika TERMOHON tidak melaksanakan pemeriksaan terhadap PEMOHON sebagai saksi atau saksi untuk calon Tersangka maka apa yang diharapkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu kepastian hukum, pemenuhan asas-asas, transparansi dan perlindungan Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 menjadi tidak terpenuhi. 17. Bahwa ; jika membahas mengenai terminology “calon Tersangka” maka dalam KUHAP tidak dikenal istilah calon Tersangka, yang ada sesuai pasal 1 angka 14 KUHAP adalah Tersangka. 18. Bahwa ; terhadap terminology “calon Tersangka” tersebut, PEMOHON akan menguraikan sebagai berikut: Sehingga, dari uraian diatas, maka meskipun secara termonologi “calon Tersangka” tidak dikenal dalam KUHAP, TERMOHON tidak bisa berdalih tidak tahu apa itu calon Tersangka atau semacamnya, karena dalam praktik penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON, TERMOHON sudah menggunakan istilah tersebut dalam Laporan Hasil Gelar Perkara dan secara materiil kata “calon Tersangka” haruslah dipahami sebagai seseorang yang akan menjadi Tersangka. 19. Bahwa ; dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 pada halaman 74 angka 3 bagian Keterangan Pemerintah disebutkan “Persoalan praktik hukum, apakah seorang yang dijadikan Tersangka diperiksa lebih dahulu sebagai calon Tersangka atau sebagai saksi (yang Calon Tersangka), sangat tergantung pada interpretasi dalam praktek penegakan hukum yang harus ditafsirkan kasus demi kasus, alias tidak dapat digeneralisir untuk semua kasus manapun. Bahwa ; PEMOHON sangat sependapat dengan apa yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut bahwasannya tidak semua kasus harus ada pemeriksaan terhadap Calon Tersangka. 20. Bahwa ; keterangan pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut tidak dapat diterpakan dalam kasus atau perkara yang dihadapi oleh PEMOHON, karena dalam rangkaian proses penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON muncul adanya keterangan untuk mempedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan melakukan pemeriksaan sebagai saksi untuk Calon Tersangka (incasu yang mengarah kepada PEMOHON) dalam Laporan Hasil Gelar Perkara, sehingga hal tersebut membuktikan bahwasannya dalam kasus atau perkara yang dihadapi oleh PEMOHON, harus ada pemeriksaan saksi untuk Calon Tersangka. 22. Bahwa ; dalam praktik praperadilan seringkali muncul pertimbangan hukum yang tidak adil dan menciderai rasa keadilan bagi para PEMOHON praperadilan karena tidak jarang Yang Mulia Hakim Pemeriksa Perkara Praperadilan terpaku pada terminology kemudian menolak permohonan praperadilan atas pertimbangan “tidak jelas terminologinya” padahal disisi lain jelas terbukti adanya pelanggaran hukum dan pelanggaran hak terhadap PEMOHON praperadilan. Bahwa ; Dengan sederhana PEMOHON menyampaikan “jikalau secara nyata ada pelanggaran hak-hak yang dilakukan oleh TERMOHON, apakah Yang Mulia Hakim Pemeriksa Perkara akan menolak Permohonan praperadilan hanya karena tidak ada terminology hukumnya?” 23. Bahwa ; PEMOHON mengajukan permohonan praperadilan aquo karena mendasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 ada pelanggaran undang-undang dan ada hak-hak PEMOHON yang dilanggar oleh TERMOHON, sehingga jika PEMOHON dapat membuktikan adanya pelanggaran hak yang dilakukan oleh TERMOHON dan sebaliknya TERMOHON tidak bisa membuktikan telah melakukan penyidikan sesuai dengan segala peraturan yang ada, maka PEMOHON memohon kepada Ketuap Pengadilan Negeri Ponorogo cq Yang Mulia Hakim Pemeriksa Perkara aquo untuk dapat mengabulkan permohonan praperadilan aquo dan tidak terkurung dalam terminology normative dan dapat melakukan terobosan hukum dan penemuan hukum atau rechtvinding demi memenuhi rasa keadilan bagi PEMOHON. 24. Sehingga ; dari uraian diatas, maka PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo cq Yang Mulia Hakim Pemeriksa Perkara Aquo untuk dapat mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan PEMOHON dan menyatakan penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON adalah tidak sah. PELANGGARAN HAK PEMOHON KARENA ADANYA PELANGGARAN TERHADAP PASAL 50 AYAT 1 KUHAP 25. Bahwa ; TERMOHON telah melanggar hak PEMOHON sebagaimana ketentuan pasal 50 ayat (1) KUHAP karena tidak segera mengajukan perkara aquo ke Penuntut Umum untuk tahap penuntutan. 26. Bahwa ; Pasal 50 ayat (1) KUHAP secara tegas mengatur bahwa adalah hak seorang Tersangka agar perkaranya segera diajukan ke Penuntut Umum untuk selanjutnya segera pula dilimpahkan oleh Penuntut Umum ke Pengadilan sehingga telah terang dan jelas KUHAP tidak hanya melindungi hak-hak tersangka agar dijauhkan dari kemungkinan terkatung-katungnya nasib seseorang yang disangka melakukan tindak pidana; 27. Bahwa ; TERMOHON telah melakukan pelanggaran terhadap hak PEMOHON karena selama lebih dari 140 hari berkas perkara PEMOHON belum juga dilimpahkan ke Penuntut Umum. 28. Bahwa ; lamanya berkas perkara aquo tertahan di Penyidik tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 50 ayat (1) KUHAP namun juga pelanggaran terhadap ketentuan pasal 138 KUHAP dan pelanggaran terhadap ketentuan pada peraturan bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia , Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia NOMOR : 099/KMA/SKB/V/2010 NOMOR : M.HH-35.UM.03.01TAHUN 2010 NOMOR : KEP-059/A/JA/05/2010 NOMOR : B/14/V/2010 tentang SINKRONISASI KETATALAKSANAAN SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN. 29. Bahwa ; menurut website halaman resmi Kejaksaan Negeri Ponorogo, berkas perkara aquo telah dikirimkan dan diterima oleh Kejaksaan Negeri Ponorogo pada tanggal 18 April 2022, namun hingga permohonan praperadilan ini diajukan, berkas perkara aquo belum dinyatakan lengkap dan masih bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum. 30. Bahwa ; mengacu pada pasal 138 ayat (1) KUHAP maka Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. 31. Bahwa ; karena alur penyerahan, penerimaan dan pengembalian berkas merupakan ranah dan kewenangan Penuntut Umum dengan Penyidik, maka kami tidak mengetahui sampai mana proses bolak baliknya berkas tersebut. Namun, secara logika hukum dan hitung-hitungan waktu maka dapat terlihat bahwasannya berkas aquo belum lengkap, mengingat : 32. Bahwa ; dari alur bolak baliknya berkas perkara aquo, jelas terjadi pelanggaran waktu bolak baliknya berkas perkara sebagaimana yang diatur dalam KUHAP dan ada pelanggaran peraturan sebagai berikut: b. Pelanggaran Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/A/JA/02/2009 tentang meminimalisir bolak baliknya perkara antara penyidik dan Penuntut Umum, yaitu pelanggaran pada: Bahwa ; dalam Surat Edaran Jaksa Agung diatas, ada batasan waktu maksimal 14 hari TERMOHON melengkapi berkas sesuai petunjuk Jaksa, dan akan berakibat hukum tidak sahnya penyidikan yang dilakukan jika melanggar batas waktu diatas. Bahwa ; melihat dari lamanya berkas tersebut bolak balik dari TERMOHON kepada Jaksa Penuntut Umum (incasu bulan April kemudian lompat ke bulan Juni dan Lompat ke bulan Juli) maka jelas waktu 14 hari yang menjadi batasan TERMOHON untuk melengkapi berkas perkara aquo telah terlewati, sehingga penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON tidak sah karena tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor SE-004/A/JA/02/2009. Sehingga dari uraian tersebut diatas maka penyidikan TERMOHON terhadap PEMOHON haruslah dinyatakan tidak sah. c. Pelanggaran terhadap peraturan bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia , Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia NOMOR : 099/KMA/SKB/V/2010 ; NOMOR : M.HH-35.UM.03.01 TAHUN 2010 ; NOMOR : KEP-059/A/JA/05/2010 ; NOMOR : B/14/V/2010 tentang SINKRONISASI KETATALAKSANAAN SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN pada Lampiran angka 8 perihal Tindakan angka 2 disebutkan : “apabila berkas Perkara sudah 3 (tiga) kali diajukan oleh pihak Penyidik dan dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka perkara dinyatakan tidak layak atau tidak dapat diajukan.” Hal tersebut dimaksudkan supaya masyarakat memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Bahwa ; melihat dari lamanya TERMOHON melengkapi berkas perkara PEMOHON, maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu: Bahwa ; baik dari kemungkinan pertama maupun kemungkinan kedua diatas, maka semuanya adalah pelanggaran terhadap peraturan yang ada, sehingga jelas TERMOHON ada pelanggaran ketentuan hukum yang mengakibatkan penyidikan terhadap PEMOHON menjadi tidak sah dan berkas perkara PEMOHON tidak layak atau tidak dapat diajukan. 33. Bahwa ; bolak-baliknya berkas perkara jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 50 ayat 1 KUHAP karena nasib PEMOHON menjadi tidak jelas dan terkatung-katung. 34. Sehingga dari seluruh uraian diatas, bolak baliknya berkas antara TERMOHON dan Penuntut Umum merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 50 ayat 1 KUHAP sehingga sudah seharusnya penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON dinyatakan tidak sah. PELANGGARAN TERHADAP KEBEBASAN PEMOHON KARENA TERMOHON MEWAJIBKAN PEMOHON UNTUK ABSEN ATAU WAJIB LAPOR SEDANGKAN SECARA HUKUM PEMOHON DALAM KEADAAN BEBAS TIDAK DALAM PENAHANAN ATAU PENANGGUHAN PENAHANAN 35. Bahwa ; sebagaimana telah PEMOHON uraikan diatas, Pada tanggal 30 Juli 2022, PEMOHON dikeluarkan dari tahanan demi hukum karena masa penahanan pada tahapan penyidikan (incasu 120 hari) telah habis. 36. Bahwa ; meskipun demi hukum PEMOHON telah dibebaskan dari tahanan, namun TERMOHON tetap mewajibkan PEMOHON untuk melakukan wajib lapor setiap hari Senin dan Kamis di kantor Kepolisian Resort Ponorogo. 37. Bahwa ; adanya perintah wajib lapor dari TERMOHON kepada PEMOHON tersebut merupakan bentuk pengekangan dan pelanggaran kebebasan terhadap diri PEMOHON, karena PEMOHON menjadi tidak bisa melakukan aktivitasnya secara bebas pada hari Senin dan Kamis, padahal PEMOHON secara hukum sudah bebas. 38. Bahwa ; menurut ketentuan pasal 31 ayat 1 KUHAP, kutipannya berbunyi “Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.” 39. Bahwa ; dalam penjelasan pasal 31 ayat 1 KUHAP tersebut, Yang dimaksud dengan “syarat yang ditentukan”, yaitu: Wajib lapor; Tidak keluar rumah; atau Tidak keluar kota. 40. Bahwa ; dari ketentuan diatas, maka jelas terbukti wajib lapor adalah salah satu bentuk dari penangguhan penahanan, hal ini jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia terhadap diri PEMOHON, karena secara hukum PEMOHON telah dibebaskan dari tahanan dan tidak sedang berada dalam penangguhan penahanan karena kewenangan penahanan oleh TERMOHON sebagai penyidik telah habis. 41. Bahwa ; wajib lapor yang diperintahkan oleh TERMOHON kepada PEMOHON adalah pelanggaran asas Habeas Corpus karena tanpa dasar hukum TERMOHON telah mengekang kebebasan PEMOHON, dan asas Habeas Corpus merupakan salah satu dasar hukum praperadilan, sehingga permohonan praperadilan yang diajukan oleh PEMOHON haruslah dikabulkan karena adanya pelanggaran terhadap asas Habeas Corpus. 42. Sehingga dari uraian diatas, jelas ada pelanggaran hukum khususnya pelanggaran pasal 31 ayat 1 KUHAP dan pelanggaran Hak Asasi terhadap diri PEMOHON karena tanpa dasar hukum PEMOHON dikekang kebebasannya oleh TERMOHON setiap hari Senin dan Kamis. Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Ketua Pengadilan Negeri Ponorogo cq Yang Mulia Hakim Pemeriksa Perkara Aquo untuk dapat mengabulkan Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh PEMOHON dan memberikan Putusan atau Penetapan yang amarnya berbunyi: PRIMER SUBSIDER
|
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |